Sony diikuti Panasonic
dan Sharp mengumumkan angka kerugian trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka
roboh berkeping-keping. Sanyo bahkan harus rela menjual dirinya lantaran sudah
hampir kolaps. Sharp berencana menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan
Panasonic akan mem-PHK ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi
divisi notebook-nya mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga
mati).
Adakah ini pertanda
salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa kegagalan demi kegagalan terus
menghujam industri elektronika raksasa Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan
coba menelisiknya.
Serbuan Samsung dan LG
itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang Jepang, kedua produk Korea itu
tampak seperti predator yang telah meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di
sisi lain, produk-produk elektronika dari China dan produk domestik dengan
harga yang amat murah juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam
kategori digital gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang
bodoh dan tolol.
What went wrong?
Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti pecundang?
Ada tiga
faktor penyebab fundamental yang bisa kita petik sebagai pelajaran.
Faktor
1 : Harmony Culture Error.
Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci.
Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product
launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek
lantaran budaya mereka yang mengangungkan harmoni dan konsensus.
Datanglah ke
perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat
mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu
sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan.
Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk
baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.
Budaya yang
mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil
keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).
Budaya yang menjaga
harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa
mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan tumbal demi menjaga “keindahan
budaya harmoni”. Ouch.
Faktor
2 : Seniority Error.
Dalam
era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir.
Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang
mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan.
Sialnya, nyaris semua
perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan
Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia
30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah
keanehan.
Promosi di hampir
semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti
didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas
pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun
adalah kelaziman.
Lalu apa artinya semua
itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas
permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU
lalu mati.
Faktor
3 : Old Nation Error.
Faktor terakhir ini
mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi.
Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang
berusia diatas 50 tahun.
Implikasinya :
mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu.
Kategori karyawan yang sudah menua.
Disini hukum alam
berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan
yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada
comfort zone yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.
Dan sekali lagi, apa
artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas inovasi akan selalu berjalan
dengan tersengal-sengal.
Demikianlah, tiga
faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa raksasa-raksasa
elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal pada tiga elemen
diatas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada dalam bayang-bayang
kematian.
-
See more at:
http://strategimanajemen.net/2012/09/03/the-death-of-samurai-robohnya-sony-panasonic-sharp-dan-sanyo/#sthash.nzhhgVq6.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar